The Book of Good, apakah itu? Bukan, bukan novel baru terbitan Gramedia, tapi buku catatan biasa tentang anak FunkyMami, si S, yang dua bulan lagi berusia 10 tahun. Catatan itu semacam buku harian, ditulis dengan tanggal dan coretan tentang semua kebaikan yang dia kerjakan pada hari itu. Siapa saja dalam rumah (termasuk si S sendiri) boleh menulis apa saja tentang S di buku itu, dengan catatan: HANYA YANG BAIK-BAIK.
Ide menciptakan buku itu muncul pada tahun baru, saat FunkyMami dan suami berkilas balik tentang masa-masa pertemuan pertama, pernikahan, kelahiran anak pertama, anak kedua, mendidik mereka, sampai tidak terasa 12 tahun sudah waktu yang telah terlewatkan bersama. Pada saat bernostalgia itulah, tiba-tiba muncul topik yang selama ini sebenarnya meresahkan tapi belum pernah mereka tanggapi secara serius - yaitu tentang si S.
Sebelum bercerita panjang lebar, FunkyMami perlu menggaris bawahi - sungguh, FunkyMami sangat mencintai dan menyayangi S. Memang klise, orang tua mana yang tidak mencintai anaknya? Apalagi kata orang-orang si S adalah gadis cilik yang baik, sopan dan tidak suka menganggu anak lain. Lalu kenapa muncul ide tentang buku itu? Kenapa segala kebaikan si S harus ditulis yang seolah-olah tujuannya hanyalah untuk menggaris bawahi semua itu? Betul pembaca, memang itulah tujuannya - menggaris bawahi kebaikan si S agar dengan membacanya dia bisa mengerti bahwa dibalik segala kekurangannya, dia adalah anak yang istimewa. Dan mudah-mudahan dengan mengenali keistimewaaannya dia akan lebih percaya diri untuk melakukan hal-hal yang lebih baik lagi.
Dibalik sifat-sifat positifnya, si S adalah anak yang sangat teledor, pelupa dan kurang fokus. Jika FunkyMami tulis SANGAT, artinya melebih rata-rata. Begitu kurang fokusnya sampai FunkyMami berpikir si S pasti sedang bermimpi saat mengerjakan sesuatu. Awalnya FunkyMami selalu berpikir, ‘Ah, namanya juga anak-anak.’ Tapi seiring dengan bertambahnya umur, sifat pelupa si S bukannya menurun, tapi malah semakin parah. Umumnya, dengan bertambahnya usia anak, maka bertambah pula rasa tanggung jawabnya sehingga dia lebih berkonsentrasi dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sayangnya, tidak begitu dengan si S. Hal-hal sepele yang sudah dia kerjakan selama 3 - 4 tahun terakhir seperti, mematikan lampu, mencuci tangan, merapikan tempat tidur dan sebagainya, masih sering terlupakan. Hampir semua tugas si S adalah hal-hal kecil yang rutin dan sebenarnya mudah diingat. Bukannya dia malas, karena jika dia dimintai bantuan maka dia akan segera melaksanakan. Dia hanya perlu diingatkan berulang-ulang untuk mengerjakan tugas rutinnya. Hal ini membuat FunkyMami khawatir karena adiknya, si R, yang berusia 5 tahun sudah bisa melakukan beberapa tugas yang sama dan jarang lupa. Banyak orang bilang, wajar jika anak seumur S sering lupa. Memang benar, anak seusia S masih sering sibuk bermain dengan pikirannya sendiri sehingga kurang bisa berkonsentrasi terhadap hal-hal yang sedang dia kerjakan. Tapi semua kewajaran pasti ada standarnya kan? Dan menurut naluri FunkyMami S sudah melebihi standar kenormalan. FunkyMami berkesimpulan seperti itu karena dia telah membandingkan S dengan anak-anak seusianya, berbicara dengan gurunya di sekolah, mencari informasi dari beberapa orang tua, membaca beberapa artikel di media, dan terlebih lagi, memantaunya sehari-hari.
FunkyMami akui, banyak orang mengatakan FunkyMami termasuk orang yang perfeksionis, meskipun FunkyMami lebih suka menyebut dirinya orang yang terorganisir. FunkyMami juga termasuk orang yang suka berencana, menggunakan metode, dan berusaha sebisa mungkin menerapkan rencananya dengan menggunakan metode yang dia pilih. Jika gagal, FunkyMami akan mencari metode lain. Jika hasilnya selalu gagal, maka FunkyMami tahu itu adalah rencana gila :). Maka wajar jika FunkyMami bukanlah termasuk tipe ibu yang bisa memasrahkan tugas merawat anak ke orang lain, seperti baby sitter atau pembantu misalnya. Karena menurut FunkyMami, merawat dan mendidik anak adalah termasuk satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Berdasarkan pengalaman FunkyMami selama ini, sangat sulit mendidik anak sesuai yang kita inginkan jika tugas merawat kita serahkan ke orang lain. Karena pada saat merawat itulah proses mendidik anak sedang berlangsung. Menerapkan rutinitas saat merawat anak adalah proses mendidik. Rutinitas yang telah kita terapkan adalah dasar kedisiplinan bagi anak. Semua dasar yang sudah kita terapkan itu belum tentu bisa dilaksanakan oleh orang lain, apalagi jika diluar pantauan kita (tentu nggak semua orang setuju dengan pendapat itu).
Tentu, hanya karena kehendakNya lah FunkyMami bisa memiliki pilihan untuk tidak menyerahkan perawatan anak dengan seorang pembantu atau baby sitter. Dengan kata lain, atas kehendak-Nya lah keluarga FunkyMami harus hidup berpindah-pindah sehingga FunkyMami tidak bisa bekerja selama 12 tahun terakhir and memiliki waktu yang banyak untuk merawat dan mendidik anak. Dan FunkyMami sangat menyukuri kemewahan ini. Kemewahan apalagi yang diharapkan oleh seorang ibu selain selalu bisa mendampingi anak-anaknya? Karena kesibukan sehari-hari yang sangat terkait dengan kesejahteraan anak-anaknya itulah maka FunkyMami tahu betul apa yang ‘kurang’ dan apa yang ‘lebih’ dari anak-anaknya. Dan FunkyMami tahu taraf kelalaian dan keteledoran si S sudah melebihi rata-rata. Pernah seorang teman menyarankan untuk pergi ke dokter spesialis. FunkyMami tidak melakukannya karena dia masih percaya masalah si S bukanlah suatu penyakit. Apalagi di sekolah si S bukan termasuk anak yang bodoh. Nilai-nilai rapornya lebih dari cukup dan menurut gurunya dia tidak punya masalah dengan konsentrasi. Jadi kesimpulan FunkyMami: mencari metode yang lebih tepat.
Sebagai orang tua yang baik, kita tidak seharunya membanding-bandingkan anak, meski antara saudara sendiri, karena tiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam berkonsentrasi. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa normal perbedaan itu? Seperti misalnya, si Adik yang lebih muda 5 tahun adalah anak yang sangat fokus. Hanya perlu dua atau tiga kali untuk menerapkan aturan baru, maka si Adik akan mengingatnya. Tidak hanya ingat untuk melakukannya, tapi juga ingat mengapa dia harus melakukannya. Misalnya, jika FunkyMami asal menaruh Lego di box yang salah, si Adik akan bilang, “Kalau naruh ditempat yang salah nanti susah mencarinya lagi.” Kata-kata tersebut adalah kata-kata yang sudah ditanamkan FunkyMami saat pertama kali mengajari si Adik untuk memilah-milah barang di tempat yang benar. Di usia 2 tahun, sepulang dari Playgroup si Adik sudah tahu di mana letak sepatu. Setelah lepas sepatu dia akan pergi ke kamar mandi untuk cuci tangan lalu duduk di meja makan, menunggu makan siangnya disajikan. Dan itu berlangsung sampai saat ini. Sementara si S hampir tiap pagi lupa menyisir rambut sebelum berangkat sekolah. Jangankan memasang bandana atau pita seperti anak-anak lain seusianya, kertas HVS dengan tulisan JANGAN LUPA MENYISIR RAMBUT dengan font ukuran 100 yang tertempel di kaca wastafel (sisir rambutnya ada di kamar mandi) lewat dari pandangan matanya. Dalam 8 bulan terakhir, topi sekolahnya hilang 5 kali, kaca mata renang hilang 3 kali dan celana olah raga hilang 2 kali. Berkali-kali dia pergi sekolah dengan kaos kaki terbalik (alasannya, nggak sadar soalnya warnanya putih). Dan tak terhitung hal-hal sepele lainnya yang seharunya sudah mengelupas di kepala.
Berbagai metode sudah dicoba FunkyMami. Masa-masa mengomel dan membentak sudah berlalu. Waktu telah mendidik FunkyMami bahwa marah tidak akan membawa hasil. Yang ada hanya linangan air mata si S dan penyesalan si FunkyMami. Saat ini si S berlatih Taekwono yang kata para ahli bisa melatih konsentrasi seperti halnya olah raga bela diri lainnya. Hasilnya? Sama. Agar bisa lebih fun, FunkyMami juga mencoba menulis catatan di kertas kecil lalu dilipat dan dimasukkan ke saku si S Isinya biasanya: HAYO, LUPA MATIKAN KRAN. Cara yang menyenangkan, tidak ada air mata dan tidak patah hati. Tetap sama. Metode kertas tempel di pintu lemari, pintu kamar tidur, pintu kamar mandi, kaca toilet, dan pintu kulkas juga gagal. Bahkan seminggu lalu FunkyMami belanja berdua sama si S di IKEA, beli box-box warna-warni. Sampai dirumah ditempel dengan lebel yang lucu-lucu. Tujuannya agar dia lebih terinspirasi untuk meletakkan barang-barangnya di tempat yang benar. Sebuah kegiatan ‘mom and daughter’ yang mengasyikkan. Hari pertama dan ke dua berhasil. Berikutnya? Kembali seperti awal. Yang menyedihkan, dengan tugas dan kewajiban yang sama, adiknya, si Adik lebih bisa diandalkan dibanding si S. Hampir tiap pagi si adik menggerutu melihat wastafel yang kotor oleh bercak-bercak sisa makanan yang mengering, hasil dari gosok gigi yang tidak disiram. Kenapa begitu? Karena dua-duanya telah diajari agar membilas wastafel setelah gosok gigi. Dua-duanya diajari untuk melakukan hal tersebut saat awal-awalnya belajar gosok gigi. Bedanya, 4 tahun kemudian si adik masih ingat terus, sementara 9 tahun kemudian si kakak harus terus diingatkan.
Berbagai metode sudah dicoba FunkyMami. Masa-masa mengomel dan membentak sudah berlalu. Waktu telah mendidik FunkyMami bahwa marah tidak akan membawa hasil. Yang ada hanya linangan air mata si S dan penyesalan si FunkyMami. Saat ini si S berlatih Taekwono yang kata para ahli bisa melatih konsentrasi seperti halnya olah raga bela diri lainnya. Hasilnya? Sama. Agar bisa lebih fun, FunkyMami juga mencoba menulis catatan di kertas kecil lalu dilipat dan dimasukkan ke saku si S Isinya biasanya: HAYO, LUPA MATIKAN KRAN. Cara yang menyenangkan, tidak ada air mata dan tidak patah hati. Tetap sama. Metode kertas tempel di pintu lemari, pintu kamar tidur, pintu kamar mandi, kaca toilet, dan pintu kulkas juga gagal. Bahkan seminggu lalu FunkyMami belanja berdua sama si S di IKEA, beli box-box warna-warni. Sampai dirumah ditempel dengan lebel yang lucu-lucu. Tujuannya agar dia lebih terinspirasi untuk meletakkan barang-barangnya di tempat yang benar. Sebuah kegiatan ‘mom and daughter’ yang mengasyikkan. Hari pertama dan ke dua berhasil. Berikutnya? Kembali seperti awal. Yang menyedihkan, dengan tugas dan kewajiban yang sama, adiknya, si Adik lebih bisa diandalkan dibanding si S. Hampir tiap pagi si adik menggerutu melihat wastafel yang kotor oleh bercak-bercak sisa makanan yang mengering, hasil dari gosok gigi yang tidak disiram. Kenapa begitu? Karena dua-duanya telah diajari agar membilas wastafel setelah gosok gigi. Dua-duanya diajari untuk melakukan hal tersebut saat awal-awalnya belajar gosok gigi. Bedanya, 4 tahun kemudian si adik masih ingat terus, sementara 9 tahun kemudian si kakak harus terus diingatkan.
Sangat sulit untuk mengekspresikan rasa kasih sayang ke anak seperti mengelus, merangkul bahkan memuji saat hati kita digerogoti perasaan jengkel. Lebih-lebih saat kita menahan diri agar tidak meledak. Saat kita merasa bangga sesaat, senyum kita mudah sekali dirusak oleh hal-hal sepele. Oke, mungkin orang akan bilang, “Ya, masalah sepele aja dipikirin, salah sendiri!”. Bukan soal ‘sepele’ nya yang menjadi masalah, tapi kaset yang diputar puluhan kali itulah yang menjadi masalah. Bisa dimaklumi kalau misalnya kita memberi anak tanggung jawab yang besar dan dia gagal melakukannya. Tapi mematikan lampu? Menutup pintu? Bisa saja kita beranjak dan melakukan sendiri hal-hal tersebut, tapi ada hal yang jauh lebih prinsip dari sekedar 'membantu mematikan lampu', yaitu kebiasaan untuk bertanggung jawab. Memang saat ini dia belum mengenal konsekwensi bayar listrik mahal, tapi membiasakan diri untuk melakukan hal yang berguna akan membantunya dalam menempuh hidupnya kelak. Atau yang lebih ruwet lagi, waspada akan global warming misalnya? Tuh, tuh… penting juga kan? Ingat kata si Iwan Fals lagi, 'Lestarikan alam hanya celoteh belaka'. Apapun itu, meski alasannya terkesan ‘over the top’, kebiasaan adalah akar kedisiplinan.
Karena hal-hal itu lah, malam sebelum tidur FunkyMami sering merasa menyesal karena kejengkelan terhadap kelalaian si S telah membuatnya lupa untuk mengelus, mendekap dan memuji si S. Begitu terkurasnya perhatian FunkyMami atas sifat pelupa si S sampai-sampai FunkyMami mengenyampingkan sifat-sifat positifnya, lupa bahwa bisa jadi si S lah yang lebih membutuhkan banyak perhatian dan tuntunan dibanding adiknya. Mungkin benar, FunkyMami terlalu perfeksionis, terlalu penuntut, terlalu berharap banyak dari seorang anak berusia 10 tahun. Mungkin FunkyMami kurang dalam mencari informasi yang tepat tentang masalah ini. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan itu dan FunkyMami tidak tahu metode apalagi yang bisa digunakan agar si S tidak lupa memasukkan PRnya ke tas, agar dia tidak dimarahi gurunya karena lupa membawa kotak pinsilnya, agar dia tidak ditertawain temannya karena kaos kakinya panjang sebelah. FunkyMami ingin mempercayainya lebih dalam dengan memberi tanggung jawab untuk mengunci pintu saat keluar rumah, mematikan oven kalau sudah bunyi ‘pip’, atau memberinya HP bekas agar bisa dihubungi kalau telat pulang sekolah. Si S belum bisa diberi kepercayaan itu karena setelah berkali-kali dicoba dia gagal melakukannya. Dan buku inilah, The Book of Good, adalah metode terakhir yang bisa ditemukan FunkyMami saat ini. Mungkin berhasil mungkin tidak. FunkyMami hanya ingin agar si S menulis hal-hal baik tentang dirinya yang membuat dirinya atau orang lain bangga atas dirinya. FunkyMami ingin agar seisi rumah menulis segala keistimewaan si S agar dia tahu bahwa seisi rumah menyadari keistimewaanya. Dengan begitu mudah-mudahan dia lebih terinspirasi, lebih fokus dalam melakukan hal-hal baik lainnya. Mudah-mudahan dia tahu bahwa hal-hal sepele yang sering dia lupakan ternyata bisa membuat orang lain bangga atas dirinya saat dia mengingatnya.
Kemarin, sebelum tidur S membaca catatan hari itu. Kemudian dia beranjak dan datang memelukku FunkyMami. Dia bilang: “Mama, hari ini banyak hal yang tidak aku lupakan.” Di buku itu tertulis:
MINGGU, 13 JANUARI 2013
- S menyisir rambutnya tanpa kusuruh. Dia tampak rapi dan cantik sebelum berangkat sekolah. Kaos kakinya juga tidak terbalik. Wah, berarti hari ini dia aman dari ledekan teman-temannya. Mudah-mudahan nanti dia juga tidak lupa mandi ☺.
- Hebat, hari ini dia tidak menimbun seragamnya yang masih bersih di kursi, tapi menggantung agar besok bisa dipakai lagi.
beer bnaget hehehehe,,, sama aja,, ternyata aq ga sendiri dalam hal ini
ReplyDelete