Tiga bulan lagi si 'S' berumur delapan tahun. kami setuju sudah waktunya 'S' mendapat uang saku. Kata Bu Djoko: “Waduh, kasihan banget. Umur delapan baru dapat uang saku. Pelit amat sih orang tuanya!”
Sebenarnya sih bukan pelit, tapi terus terang kami lupa memikirkan soal uang saku. Baru ingat setelah 'S' bawa PR matematika tentang uang. Barulah kami sadar, sudah waktunya dia belajar mengatur keuangannya sendiri.
Untuk membela diri, sebenarnya kami punya tiga alasan kuat kenapa kami sampai ‘lupa’ memberinya uang saku.
Pertama, 'S' belum mengerti pentingnya uang
Selama ini, 'S' nggak pernah merengek minta uang saku. Yang menarik, waktu ide ini kami bahas, dia langsung gembira:“Asyek, dapat uang saku. Bentar lagi kaya…” Tapi waktu kami tanya kenapa selama ini dia nggak pernah protes, dengan enteng (sambil angkat bahu) dia bilang: “Kalo pun punya uang, trus mau beli apa?”
Beda sama sepupu 'S' yang terbiasa dengan uang saku sejak kecil. Dia tahu persis gunanya uang Seribu rupiah meski umurnya waktu itu baru dua tahun. Tiap Lebaran dia pasti sibuk meluruskan uang kertas hasil ‘unjung-unjung’… Bahkan dia hapal, menangis adalah senjata ampuh buat mengelabuhi si nenek agar memberinya uang buat beli permen.
Kedua, 'S' belum perlu uang
Antara 'S' dan si sepupu, nggak cuman beda kebiasaan, tapi juga beda lingkungan. 'S' tumbuh di tempat di mana nggak ada penjual jajanan lewat depan rumah. 'S' terbiasa dengan jajanan yang disediakan di rumah. Sementara jajanan istimewa seperti coklat, es krim, atau es loli hanya tersedia sebagai hadiah atau imbalan jika dia berbuat kebaikan. Pernah, pas lagi mudik, si sepupu datang dengan ngos-ngosan. Dia bilang: “S beli es krim. Udah dimakan tapi nggak bayar. Dia cuman bilang terima kasih!” Usut punya usut, ternyata 'S' diiming-iming sama si penjual es krim. Dipikir gratis, es krim diterima dengan senang hati. Nggak tahunya disuruh bayar! Saat itu juga FunkyMami sadar, bahwa selama ini dia lupa mengajari 'S' untuk melakukan transaksi jual beli. 'S' memang hampir tidak pernah membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Apa yang dia butuhkan untuk makan dan minum tersedia di rumah. Snack untuk sekolah pun dia bawa dari rumah. Sementara untuk makan siang di kantin dia menggunakan kupon. Dia juga nggak perlu bayar tiket bus atau angkot, karena dia cukup jalan kaki sama teman-temannya.Ketiga, 'S' hanya ngerti ‘nilai barang’, bukan’ nilai uang’
Untungnya, meski nggak paham ‘nilai uang’, 'S' cukup mengerti tentang ‘nilai barang’. Dia tahu bahwa dia harus merawat mainannya dengan baik karena barang-barang tersebut sangat berharga – bukan karena nilai uangnya, tetapi karena dia harus melalui proses yang tidak mudah untuk mendapatkannya. Kecuali barang keperluan sehari-hari, barang-barang istimewa yang dia idamakan harus ditulis dalam ‘Daftar Keinginan’ atau wish list. Daftar tersebut baru bisa terwujud pada hari-hari istimewa, seperti ulang tahun, Idul Fithri atau hari Natal (meski kami bukan penganut Nasrani, karena kakek/nenek dan kerabat dari suami beragama Nasrani, maka dia juga ikut 'kecipratan' hadiah Natal dari Santa Claus).Nah, sambil menunggu harapannya menjadi kenyataan, 'S' punya cukup waktu untuk mempertimbangkan, apakah dia benar-benar mengingikan barang tersebut. Jika dia berubah pikiran, dia bisa menghapus, mengganti atau menambah daftar. Inilah salah satu keuntungan wish list ini, yaitu membiasakan anak meminta sesuatu yang betul-betul dia inginkan. Dengan begitu, anak bisa belajar tidak menyia-nyiakan uang, dan juga belajar menyayangi barang-barangnya karena tidak mudah untuk mendapatkannya.
Karena ketiga alasan tersebut di atas, kami sempat ragu apakah ide uang saku ini cukup bagus buat si 'S'. Apa gunanya memberi uang saku kalau dia tidak tahu bagaimana cara menghargainya? Setelah berdiskusi dengan si Papi dan mempertimbangkan ini itu, kami sependapat bahwa 'S' harus belajar tentang ‘nilai uang’ terlebih dulu sebelum mendapat uang saku. Dan kami sepakat, metode yang tepat adalah: SEBELUM MENDAPAT UPAH, HARUS BEKERJA DULU. Dengan begitu, dia akan menghargai uang hasil jerih payahnya.
Sebagai cara kami memakai REWARD CHART atau DAFTAR IMBALAN, yaitu selembar kertas dengan tabel yang berisi daftar tugas sehari-hari selama seminggu, mulai hari Senin sampai Minggu. Untuk setiap tugas yang terlaksana, 1 poin akan diberikan. Sebaliknya, 0 poin jika lupa. Penghitungan jumlah poin dilakukan pada hari Minggu. Jumlah poin kemudian bisa ditukar dengan berbagai jenis imbalan, misal: 30 poin untuk nonton DVD, 40 poin untuk uang celengan sebesar (???), 60 poin untuk berenang di Water Park, 70 poin untuk nonton film di bioskop…
Program ini sudah terlaksana selama sebulan. 'S' benar-benar berusaha untuk mendapat cukup poin buat nonton di bioskop. Sayangnya dia belum berhasil. Demi memberi semangat Mami bilang: “Nggak tiap minggu ada film anak. Jadi nggak perlu kecewa kalo poin-nya nggak cukup. Yang penting terbiasa dulu dengan tugas-tugasnya. Nah, kalau semua tugas bisa terlaksana tanpa komando, imbalannya adalah uang saku penuh. Bisa dipakai nonton kapan saja… ”
Dan, 'S' pun semakin bersemangat…
Nah, untuk yang tertarik dengan REWARD CHART ini, silahkan baca postingan berikutnya, Reward Chart…
wah, inspiring funkymami ^^. tfs, walaupun anakku belum juga setahun umurnya sih, tapi dirumah ada keponakan (6 tahun)yang sama mamanya dimanja banget. jadi pas giliran harus sekolah di kota ku (mama nya tinggal di kota lain) waduh, apa-apa maunya langsung dikasih, gak ada dalam kamusnya harus berjuang dulu baru dapat apa yang dia inginkan. mau nyobain deh, pake reward chart. btw, nice blog, banyak tips2 yang membantu.
ReplyDelete