Beberapa waktu lalu ipar FunkyMami ultah yang ke 40. Dia nelpon ngajak ketemuan untuk merayakan ultah berdua aja, cewek-cewek. Asyek. Tapi, yah… jarak rumah kami lima jam perjalanan naik pesawat. Susyeh. Hem, setelah diskusi-diskusi akhirnya kami sepakat ketemuan di tengah-tengah. Para suami pun sepakat jadi baby sitter selama para istri berpelesir. Sim salabim abra kedabra, akhirnya ketemu lah kami di sebuah hotel yang jaraknya dua jam terbang dari masing-masing rumah. Ai… asyik banget. Dua cewek satu kamar tanpa suami dan anak. Bisa dibayangkan, mulai hari pertama kami nggak bisa tidur saking nggak habisnya bahan obrolan.
Pas hari H kami merayakan ultah berdua di sebuah pub. Kami merasa seperti muda dan single kembali. Karena kami berdua bukan termasuk wanita yang terobsesi fashion terkini atau gosip selebriti, maka pembicaraan kami pun didominasi oleh topik keluarga. *Iya..iya… boring!!*
Mendengarkan cerita masing-masing FunkyMami jadi sadar, betapa kami berdua adalah ibu-ibu yang rata-rata, seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya. Si ipar ini adalah seorang ‘Wonder Mom’ di mata FunkyMami. Dia ini cantik, pintar berdandan, berkarir (kerja sampe jam 2 siang), punya dua anak laki-laki yang sangat aktif umur 5 dan 3 tahun dan nggak punya pembantu atau sopir. Suaminya jarang di rumah karena kerjanya sering luar kota. Dengan cuman dua tangan dan dua kaki, si ipar mampu menangani semua kegiatan rumah tangga termasuk menemani anak karate dan renang, antar jemput sekolah yang letaknya terpisah, piknik di kebun, belanja di supermarket sambil nenteng dua anak, mengundang orang minum kopi atau makan malam dengan sajian makanan yang cantik, suka mendekorasi rumah dan rumahnya itu lho…. tidak berdebu! Alamak, tiap kali FunkyMami berkunjung ke rumahnya, pulang-pulang FunkyMami langsung dipresi, karena si ipar ini di samping sempurna juga hampir tidak pernah mengeluh. Dan di tengah kesibukannya itu dia juga masih sanggup mendisiplinkan anak-anaknya untuk tidak asal nonton film kartun, membiasakan anak nonton TV hanya malam minggu dan berhasil membuat anak-anaknya makan sayur dan buah-buahan. Terus, sepertinya dia tahu aja informasi lewat internet tentang makanan sehat buat anak dan produk apa yang mengandung bahan kimia berbahaya. Oh ya, dia juga nggak pernah ketinggalan jadwal rutin kunjungan dokter anak-anak.
Tapi, pas ngobrol di pub itu barulah FunkyMami melihat betapa hidup si ipar ini ternyata sama saja seperti FunkyMami, penuh dengan stress. Dia yang seperti Wonder Mom itu ternyata ceritanya juga nggak beda jauh dari cerita keseharian FunkyMami, yaitu tentang anak-anak yang lucu di hari A tapi bikin darah tinggi di hari B, C dan D. Tentang pertanyaan-pertanyaan ‘kenapa sih kelakuan anak-anak seperti itu? Tentang betapa terforsirnya tenaga dan pikiran kita karena harus melakukan semuanya tanpa bantuan. Tentang betapa menjengkelkannya kebiasaan-kebiasaan para suami yang bikin istri makin senewen, dan sebagainya…dan sebagainya… Untuk informasi, ipar FunkyMami tinggal di suatu tempat di mana hanya benar-benar orang kaya yang mampu memiliki pembantu 24/7 jam.
Cerita-cerita itu bukanlah sekedar cerita tapi sebuah bentuk pengakuan bahwa kami adalah ibu-ibu yang tidak sempurna. Bahwa kami yang dari luar mungkin tampak seperti ibu sempurna sebenarnya punya banyak kelemahan dan keluhan. Tentu, banyak juga ‘yummy mommy’ dengan cat kuku tidak terkelupas tapi tetap mampu membuat rumah tampak bersih dan rapi dan anak-anaknya pun tidak ingusan. Tapi ibu-ibu tersebut adalah Victoria Beckham, si Bree dari Desperate Housewife, ibu-ibu robot di film Stepford Housewives atau para istri yang suaminya mampu membayar segala macam tukang - tukang nyuci dan ngepel, tukang jaga bayi, tukang kebun, tukang masak, tukang nyeteir, tukang pijet...
Berhubung kami bukan istri pemain bola atau istri tycoon, maka masalah kami pun sama. Masalah ibu rumah tangga. FunkyMami mendengarkan cerita si ipar betapa dia tiap hari mulai pagi sudah jungkir balik supaya anak-anaknya nggak telat sekolah dan blazernya tetap bersih dari tumpahan susu atau olesan mentega. Dia sering dapat tegoran si bos karena telat kerja akibat macet atau anak yang rewel. Sering dia tidak bisa makan siang karena jam makan siangnya dipake buat belanja di supermarket. Setelah jemput anak sekolah dia harus bersih-bersih rumah. Habis itu ngantar anak kursus. Begitu pulang langsung menyiapkan makan malam. Setelah memandikan dan menidurkan anak-anak giliran bersih-bersih dapur. Setelah itu barulah dia punya waktu untuk nonton TV sambil setrika. Si ipar juga sempat mengungkapkan bahwa sebenarnya dia iri dengan posisi FunkyMami yang tidak harus bekerja sehingga bisa berkonsentrasi penuh untuk urusan rumah dan anak. FunkyMami paham betul situasi si ipar karena sebelumnya FunkyMami juga tinggal di tempat yang sama dan dia tahu betul bagaimana rutinitas seorang ibu di sana.
Lalu giliran si ipar mendengarkan cerita FunkyMami tentang betapa malasnya FunkyMami berdandan karena merasa tidak ada gunanya kalau seharian hanya mengurusi rumah dan anak. Betapa irinya FunkyMami melihat suami yang tiap hari tampak smart dengan jas dan dasinya, mendengar cerita-cerita menarik tentang orang-orang yang dia temui di tempat kerja. Betapa FunkyMami sering merasa bersalah karena tidak membantu memberi nafkah buat keluarga. Betapa FunkyMami dying untuk bisa membeli barang dengan uang sendiri. Betapa susah payahnya FunkyMami berusaha mendapatkan pengakuan bahwa apa yang dikerjakan sehari-hari juga termasuk kontribusi penting bagi keluarga. Betapa rasa tertekan itu ternyata mampu mengakibatkan penyakit depresi yang membuat FunkyMami sering terbangun tengah malam dan menemukan diri menangis diam-diam dalam ruang tamu yang gelap tanpa tahu kenapa dia harus menangis.
Masalah-masalah ini adalah masalah umum di kalangan ibu rumah tangga. Begitu umumnya sampai-sampai keluhan semacam ini hanya akan mengundang cibiran: “Mengeluh lagi, mengeluh lagi…” Masih beruntung kalau cuman mendapat cibiran, tapi kalau kita berkeluh kesah dengan orang yang salah kita malah sering mendengar komentar-komentar seperti ini:
“Tetanggaku malah anaknya empat. Coba bayangkan, betapa susahnya!”
“Jaman orang tua kita dulu semuanya dikerjakan dengan tangan, tapi mereka tetap berhasil mendidik anak-anaknya!”
“Suamimu itu lho bukan tukang judi, tukang mabuk dan tukang main perempuan. Anak-anakmu juga sehat. Masih kurang?”
Lalu komentar ini nih yang seolah tamparan yang bikin kita langsung tutup mulut dan menelan pahit segala keluh kesah:
“Kamu seharusnya bersyukur karena Tuhan telah memberimu banyak keberuntungan. Begitu banyak orang yang jauh lebih sengsara di dunia ini.”
Tentu saja semua komentar di atas benar adanya dan memang bisa kita jadikan cambukan agar kita ‘terbangun’ dari segala keluh kesah. Tapi, *mohon jangan disalah artikan ya*, keluh kesah sesama wanita bukanlah berarti kita tidak bersyukur. FunkyMami amat sangat mensyukuri tentang siapa dia dan yang apa yang dia punya, dan dia berharap semoga semua itu tidak akan pernah diambil kembali oleh Nya. Tapi FunkyMami adalah manusia biasa. Tidak boleh kah kita jujur tentang apa yang kita rasakan? Tidak bolehkah kita mengekspresikan kebosanan atas tugas-tugas yang selalu sama setiap hari? Tidak bolehkah kita sesekali saja berucap seolah kita ini bukan termasuk orang yang bijak?
Sepertinya, berkeluh kesah sesama wanita sering mengakibatkan kita harus melebel diri sendiri dengan judul “IBU YANG TIDAK BERSYUKUR.”
Sering keluh kesah kita ditanggapi dengan sikap 'aku ini lho benar-benar survivor ' alias orang yang bertahan hidup dari segala gemblengan. Atau kadang ditanggapi dengan nasehat-nasehat yang mencerminkan bahwa si pemberi nasehat adalah wanita yang lebih bijak. Bahkan kakak FunkyMami sendiri nih pernah berkomentar: “Kan bersih-bersih rumah pake mesin. Kok bisa cape sih?” Dalam hati FunkyMami menggertutu: “Emang mesin bisa jalan sendiri cuman dipelototi? Haiya… kok bisa ajang keluh kesah diubah menjadi ajang kompetisi untuk menunjukkan siapa Sang Pendekar Ibu. Kadang FunkyMami pikir nggak fair kalau kita sudah putuskan untuk mempercayai seseorang dengan menceritakan masalah kita tapi ujung-ujungnya malah ditanggapi dengan penilaian-penilaian yang bikin kita menjadi merasa bersalah.
Berkeluh kesah sesama wanita tentang rumah tangga hanyalah sebuah cara untuk melonggarkan sesak napas yang disebabkan oleh kekecewaan-kekecewaan yang menumpuk. Tidak lebih dari itu. Berkeluh kesah tentang keluarga bukan berarti kita tidak menghendaki anak kita lagi atau ingin menukar suami dengan laki-laki lain. Kita sebenarnya mencintai apa yang kita punya. Dan meski sering mengeluh kita juga tetap ingin mengerjakan tugas-tugas sebagaimana kewajiban kita. Tapi kadang kita juga butuh pengakuan bahwa apa yang kita kerjakan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan tentunya sesama wanita seharusnya saling memahami kondisi tersebut dan saling membantu meringankan beban, bukan malah memberi vonis yang bikin kita semakin kehilangan napas. Bisa didengarkan dan dimengerti adalah tujuan terpenting dari kegiatan keluh kesah ini. Mungkin kita beruntung bisa mendapatkan solusi, tapi biasanya kita sudah cukup lega saat wanita lain berkata: 'Aku bisa rasakan apa yang kamu alami. Aku juga pernah mengalaminya. My heart is with you sweet heart.' Bahkan nggak perlu kata-kata itu, sebuah pelukan saja sudah cukup untuk membangkitkan semangat.
Berkeluh kesah sesama wanita tentang rumah tangga hanyalah sebuah cara untuk melonggarkan sesak napas yang disebabkan oleh kekecewaan-kekecewaan yang menumpuk. Tidak lebih dari itu. Berkeluh kesah tentang keluarga bukan berarti kita tidak menghendaki anak kita lagi atau ingin menukar suami dengan laki-laki lain. Kita sebenarnya mencintai apa yang kita punya. Dan meski sering mengeluh kita juga tetap ingin mengerjakan tugas-tugas sebagaimana kewajiban kita. Tapi kadang kita juga butuh pengakuan bahwa apa yang kita kerjakan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan tentunya sesama wanita seharusnya saling memahami kondisi tersebut dan saling membantu meringankan beban, bukan malah memberi vonis yang bikin kita semakin kehilangan napas. Bisa didengarkan dan dimengerti adalah tujuan terpenting dari kegiatan keluh kesah ini. Mungkin kita beruntung bisa mendapatkan solusi, tapi biasanya kita sudah cukup lega saat wanita lain berkata: 'Aku bisa rasakan apa yang kamu alami. Aku juga pernah mengalaminya. My heart is with you sweet heart.' Bahkan nggak perlu kata-kata itu, sebuah pelukan saja sudah cukup untuk membangkitkan semangat.
Itulah sebabnya kenapa FunkyMami dan si ipar bisa menikmati percakapan malam itu sampai berjam-jam. Acara ulang tahun itu ternyata kami pakai untuk saling berbagi masalah. Kami benar-benar bahagia malam itu karena akhirnya kami bisa menemukan seseorang yang bisa mengerti kondisi kami. Kami mentertawakan diri sendiri, bergossip tentang suami, memuja kelucuan anak sekaligus menggerutu tentang kenakalan mereka, membicarakan orang tua yang sepertinya susah mengerti... dan buntut-buntunya kami saling berpelukan. Kami lega karena tidak ada prejudis atau sakwa sangka, tidak ada penilain dan tidak ada tuduhan. Semuanya bisa dimengerti dan diterima dengan akal dan hati.
Dan setelah kami mengungkapkan segala keluhan itu, akankah situasi dan kondisi di rumah tangga kami berubah? Tentu saja tidak, karena tujuan percakapan kami bukanlah untuk mencari solusi. Tapi yang jelas, setelah berkeluh kesah itu FunkyMami bisa menemukan satu sudut pandang baru tentang bagaimana dia harus menghadapi masalahnya.
Malam itu kami tidak banyak bicara lagi di tempat tidur. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. FunkyMami berencana akan meluangkan waktu lebih banyak untuk bermain dengan anak-anak dan berusaha menjadi orang penyabar seperti si ipar. FunkyMami berjanji akan memandang situasi jobless-nya sebagai bonus untuk melakukan apa saja yang selama ini FunkyMami inginkan tapi tidak punya waktu untuk melakukannya. Dan mungkin, mungkin saja, si ipar akan lebih menikmati pekerjaannya di kantor sebab dia sekarang tahu betapa dia tampak smart dan sexy dengan blazer dan sepatu hak tingginya itu. *FunkyMami sambil melirik kaos Hard Rock Cafe-nya yang sudah buluk*
mami....sama aja ya sama aku :)
ReplyDeleteAnakku 4, gak ada pembantu nginepp adanya yg pulang pergi (3 jam-an), working at home dan sering desperate dengan mereka tapi tetep cintaaaa anakku.
Memang perempuan (aku sih pastinya) sebenernya gak butuh penilaian klo lg cerita, tapi butuhnya pendengar yg baik dan ketawa-ketiwi selesai cerita untuk menertawakan ke stupid-an yg udah aku lakuin.