11/15/2011

Halloween di Indonesia? Ah, yang bener!



Dua minggu lalu, tepatnya 31 Oktober, ada perayaan Halloween di area tempat tinggal FunkyMami. Seperti di Indonesia, Halloween di sini termasuk budaya impor dan baru terkenal beberapa tahun terakhir. Makanya yang antusias cuman anak-anak kecil dan anak-anak muda (baca: remaja dan mahasiswa). Mulai jam 18:00, bell pintu rumah nggak ada hentinya berdering. Tiap kali dibuka muncul nenek sihir, tulang kerangka, muka bertopeng ala film ‘scream’, bajak laut, Darf Vader, Spiderman, mumi, bahkan putri duyung! (huh?).

Habis itu FunkyMami iseng-iseng meng-google tema Halloween. Menarik membaca artikel tentang bagaimana Halloween dirayakan di negara asalnya. Yang jelas mereka merayakannya secara total. Berbeda dengan negara-negara yang mengimpor budaya tersebut - serasa nanggung dan kurang ada ‘greget’nya. Namanya juga meniru, hasilnya pun nggak orisinil. Tapi ya, itulah. Pedagang selalu punya banyak cara untuk memasarkan dagangannya. Produser kostum, kartu ucapan, asesories dan barang-barang yang terkait akan selalu berusaha mencari peluang pasar baru. Kalau barang belum dikenal, mereka akan membuatnya seperti sebuah trend baru. Dan seperti biasanya anak muda sering menjadi sasaran empuk trend baru.

Jadi ingat kampung halaman

Terlibat dengan urusan Halloween bikin FunkyMami senyum-senyum sendiri, teringat kampung halaman, teringat jaman SMA. Seperti anak-anak muda di negara lain, remaja di Indonesia juga cenderung meniru kebiasaan-kebiasaan asing - dengan kapasitas yang berbeda-beda tentunya. Di Bangkok misalnya, FunkyMami pernah baca di koran bahwa tiap malam Valentine kebanyakan hotel (kelas apapun) sering fully booked oleh pasangan-pasangan muda (mudah-mudahan di Indonesia cukup dirayakan dengan mengirim kartu, kado atau bunga, kalau nggak pemerintah harus memperluas sasaran pengenalan program KB). Begitu juga saat FunkyMami dan kawan-kawan mendengar tentang perayaan ‘Valentine’ untuk pertama kalinya. waktu itu kami kelas satu SMA. Kami sekelas sepakat untuk merayakannya meski nggak begitu paham maknanya. Pokoknya waktu itu merayakan Valentine terkesan keren (mungkin karena judulnya pake bahasa Inggris ya?). Nggak ada satupun yang kepikiran ngirim bunga, kartu, kado, apalagi berani mengungkapkan perasaan kepada si ‘Nyem-nyem’. Yang kami lakukan adalah: ngumpul bersama sambil membawak kontribusi snack. Ada yang bawa kripik singkong, Chitato, roti kenong, kacang kulit...

Sepanjang malam cuman ngobrol sambil duduk di lantai sampai semua cemilan ludes. Habis itu pulang. Nggak ada satupun yang punya pikiran untuk mojok sambil ‘bertukar pikiran’. Bayangkan, saat itu tahun 1987! Dan sekolah FunkyMami dulu jauh dari kota metropolitan Jakarta. Valentine saat itu sudah diimport dan dirayakan dengan penuh keluguan.

Semua trend ada masanya

Kita tahu, nggak semua budaya asing cocok diterapkan di negara kita, bahkan seringkali terlalu maksa. Tapi cocok nggaknya nggak ada hubungannya dengan nilai budaya itu sendiri. Baik tidaknya adalah realtif, tergantung dari sudut pandangnya. Sementara maksa atau tidak, budaya asing itu akan masuk juga. Kemajuan teknologi akan mempermudah infiltrasi budaya asing, kecuali jika semua social networking seperti facebook, tweeter dan sebagainya di blok seperti di negara China, atau semua aktifitas internet berada di bawah pengawasan pemerintah. Tapi syukurlah, meskipun sejauh ini pemerintah tidak terlalu ketat dalam menangani masuknya budaya asing masyarakat kita belum kehilangan identitias diri seperti beberapa negara lain.

Semua trend memiliki masa dan akan berlalu dengan sendirinya. Seperti saat Breakdance melanda, anak-anak muda lebih suka menghabiskan waktu luangnya di pinggir jalan sambil memanggul tape recorder sebesar tas koper. Saat Punk mewabah tiba-tiba anak muda suka memasang paku pines di jaketnya (ngomong-ngomong soal Punk, sebagian dari kita pasti saat ini sering mencak-mencak melihat anak-anak kita pakai rambut ala suku Mohawk. Yep, Punk mewabah lagi saudara-saudara). Saat haavy metal menyusup, banyak sekolah menerapkan razia gunting rambut buat murid-murid berambut gondrong. Tapi mana pengaruh-pengaruh asing itu sekarang? Punah. Intinya, anak muda selalu penuh dengan imaginasi dan kreatifitas. Mereka sedang mengalami proses pencarian identitas diri. Selagi proses belum berhenti mereka tidak akan bosan mencoba hal-hal baru, termasuk beradaptasi dengan budaya asing. Suka sebel melihat anak-anak menyukai lirik lagu rap yang sering explicit (penuh sumpah serapah dan kata-kata jorok) atau lagu-lagu band gothic yang menyaramkan? Hallo...dulu sebagian dari kita juga ‘head bangers’ saat mendengarkan lagu-lagu Guns ’N Rosses!

Mungkinkah Halloween menyebar ke daerah-daerah?

Tapi yang FunkyMami sebut di atas adalah budaya-budaya asing yang bersifat trend, akan hilang dengan sendirinya saat trend baru muncul. Halloween sebaliknya. Meski kesannya seperti trend baru di negara kita, budaya ini umurnya sudah beratus-ratus tahun dan tidak akan hilang begitu saja sebagaimana perayaan traditional lainnya. Semakin terserap budaya ini, akan semakin besar pula popularitasnya. Jika popularitas semakin besar, ada kemungkinan orang akan merayakannya seperti aslinya, seperti Valentine misalnya. Valentine saat ini sudah dirayakan sebagaimana aslinya, meski banyak orang tua konservatif menganggap bahwa mengekspresikan kasih sayang secara terang-terangan adalah tabu. Anak muda tidak lagi merayakannya dengan roti kenong dan kacang kulit. Kalau Halloween suatu saat bisa mencapai popularitas seperti Valentine, bisa jadi perayaannya tidak hanya di metropolitan, di komuniti orang-orang asing atau di pub-pub saja, tapi juga ada kemungkinan anak-anak muda di daerah-daerah berdandan seram mengetuk pintu penduduk.

Ngomong-ngomong soal ‘seram’ FunkyMami nggak yakin mereka akan berdandan seperti Spiderman atau Putri Duyung. Itu sih kostum anak TK. Terus terang FunkyMami bangga dengan cara kita mendefinisikan kata SERAM. Freddy Krueger atau hantu Frankenstein yang kata orang bule ‘seram’ nggak ada apa-apanya dibanding Sundel Bolong atau Kuntilanak. Darf Vader yang sering dikenakan orang bule saat Halloween, buat kita nggak ubahnya seperti Klono Sewandono dalam penampilan Reog PonorogoFunkyMami yakin anak-anak muda kita akan jauh lebih kreatif dalam mendandani diri seperti hantu. Nah, sekarang pembaca pasti punya bayangan yang sama seperti FunkyMami. Bener, hantu Pocong mengetuk rumah pak RT tengah malam. Dampak inilah yang sedang FunkyMami tulis di sini.


Ironi Halloween di Indonesia

Kebanyakan orang bule tidak percaya hantu. Oke, mungkin berabad-abad lalu mereka masih percaya, tapi saat ini jangankan orang dewasa, anak kecil saja jarang yang percaya hantu. Mereka lebih percaya monster. Yah, monster lawan hantu, nggak match lah! Monster sih masih bisa dibunuh dengan senjata. Kalau hantu? Hanya orang sakti digdaya mandra guna yang bisa berurusan dengan hantu. Makanya orang bule fun-fun aja berdanandan ala hantu, soalnya mereka nggak takut ‘kembarannya’ bakal nguntit di belakang. Lha, kita? Jangankan dandan ala hantu trus beredar di kegelapan, lewat depan kuburan aja sudah berdoa tujuh kali. Bayangkan coba, setelah cape-cape dandan ala kuntilanak tapi pas ngaca yang tampak malah hantu Pocong? Apa nggak nyari mala namanya? Nggak percaya kalau kebanyakan masyarakat kita masih percaya sama hantu? Coba lihat spanduk-spanduk film-film di bioskop seperti ‘Arwah Goyang Kerawang’, ‘Kalung Jailangkung’, ‘Pocong Ngesot’, ‘Jenglot Pantai Selatan' dan sebagainya.

Jadi rasanya kok susah membayangkan perayaan Halloween di Indonesia, apalagi di daerah-daerah yang masih sensitiv tentang hantu. Ambil contoh Jawa misalnya. Ma'af, FunkyMami nggak banyak mengenal adat-adat lain. Karena FunkyMami orang Jawa tulen, makanya lebih mudah menggunakannya sebagai contoh. Sebagai orang Jawa, FunkyMami sudah terbiasa dengan hantu. Bukannya pernah berkawan baik sama mereka, tapi FunkyMami sudah terbiasa dengan pemahaman bahwa dunia gaib memang ada. Sebagai orang Jawa, FunkyMami tumbuh dalam sebuah tradisi yang memiliki akar animistic mysticisme. Budaya Jawa mempercayai bahwa semua makhluk hidup memiliki nyawa. Kami menghormati arwah orang meninggal dengan melakukan ‘selamatan’ di hari ke tiga, empat puluh, seratus, seribu setelah mereka meninggal dunia - terlepas dengan pandangan para ulama bahwa pelaksanaan tradisi ini sebenarnya bertentangan dengan agama. Sejak kecil FunkyMami menyaksikan praktek-praktek ilmu hitam, ilmu putih, sihir, jiwa kerasukan setan dan roh dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin praktek-praktek ini tidak seseram sebutannya, dan bisa jadi FunkyMami memberi sebutan yang salah. Apapun itu, praktek-praktek seperti penyembuahan penyakit dengan mantra, hiburan tari Kuda Lumping yang mengamali trance sambil makan gelas, bertapa di kuburan untuk mendapatkan nomer lotre yang jitu adalah kegiatan-kegiatan yang melibatkan sesuatu yang tidak ‘normal’. Entah apakah praktek-praktek ini benar-benar nyata atau hanya tipu-tipu, yang jelas banyak orang yang mengikutinya. Bukti bahwa masih banyak orang yang percaya dengan aktifitas supranatural. Bahkan banyak orang percaya bahwa tiap pohon beringin pasti memiliki ‘penunggu’ yang harus dihormati. Kadang mereka beranak dan bercucu! Jadi kalau dipikir-pikir, tanpa merayakan Halloween, kami sudah amat sangat ‘halloween’. Nah, kalau selama ini kami nggak berani main-main sama hantu, trus tiba-tiba berdandan seperti mereka dan meniru gerakan-gerakan mereka, apakah para hantu nggak bakal tersinggung? Kalau Bu Djoko yang tersinggung kita masih bisa maaf. Kalau Jalangkung yang tersinggung? Terus, kata-kata apa yang diucapkan saat makhluk-makhluk serem itu mengetuk pintu rumah penduduk? Yang jelas bukan TRICK OR TREAT. Hayo, kata apa coba? NYAWA ATAU HARTA? Wah, hantu beneran bisa tersinggung karena dikira nyontek slogan tukang jambret!
FunkyMami cuman bisa berharap. Sepopuler-populernya Halloween, mudah-mudahan budaya impor ini nggak sampai menjamah kampung halaman FunkyMami. Kasihan, banyak orang-orang tua hidup di sana. Bayangkan, salah satu tetangga FunkyMami yang sudah kehilangan suaminya bertahun-tahun lalu percaya kalau suaminya yang meninggal tanpa sakit itu telah dibunuh si penunggu pohon kapuk di belakang rumah, katanya Almarhum secara nggak sengaja menginjak anak bayi si penunggu. Kasihan kan kalau orang tua - orang tua seperti ini membuka pintu dan menemukan hantu Pocong berdiri depan pintu minta permen? Jangan-jangan dampaknya malah seperti film Gozilla - seorang bapak tua tergeletak di rumah sakit ketakutan sambil menatap cahaya lilin. Bedanya mungkin bukan bilang ‘Gojira...gojira...’ tapi ‘Pocong... pocong...’

CATATAN: FunkyMami telah berusaha menulis artikel ini senetral mungkin. Mohon ma'af jika ada kata-kata, istilah atau contoh-contoh yang salah. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment