Anak sulung yang pemimpin, anak tengah yang suka berontak atau anak bungsu yang manja? Sebuah klise tentang karakter anak berdasarkan urutan kelahiran yang sudah sering kita dengar atau baca. DAN, percaya atau tidak, kita pun sudah sering membuktikannya. Oke, kalaulah teori itu benar, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar kita bisa membantu anak dalam mengembangkan potensi yang dia miliki?
Tiap orang tua ingin memahami jiwa anak lebih dalam dan berharap agar anak merasa nyaman dengan perasaan, pikiran dan tingkah lakunya. Mungkin inilah alasan mengapa banyak orang tua sangat tertarik dengan teori urutan kelahiran atau yang biasa disebut Birth Order Theory - sebuah teori yang menawarkan cara mudah dan sederhana untuk memahami kepribadian dan perilaku anak berdasarkan posisi dalam urutan kelahiran. Seberapa jauh sih teori ini bisa membantu kita? Apakah teori ini memberi keterangan akurat tentang mengapa anak kita seperti dia adanya? Yang lebih menarik lagi, apakah teori ini bisa membantu kita untuk memberi gambaran menjadi seperti apakah anak kita setelah dewasa?
Tidak bisa dipungkiri, kita sering merasakan kebenaran teori ini dengan melihat contoh-contoh karakter yang ada di sekitar kita. Memang, stereotip yang ada tidak selalu akurat. Kenapa? Karena teori ini hanyalah salah satu potongan puzzle yang membentuk gambar unik kepribadian anak secarah utuh. Sementara potongan-potongan puzzle lainnya juga dibutuhkan dalam menyusun gambar utuh, yaitu mulai dari cara orang tua mendidik, stabilitas dalam lingkungan keluarga sampai kejadian - kejadian yang bisa membuat anak trauma. Akurat atau tidak, yang jelas teori ini menandai titik awal bagi orang tua untuk memahami karakter anak yang kompleks dan juga memberi gambaran akan potensi kekuatan dan kelemahannya. Dengan teori ini orang tua bisa memiliki semacam buku pedoman tentang langkah apa yang harus diambil dalam membantu proses pembentukan kepribadian anak. Dengan kata lain, teori ini bisa membantu perjalanan anak menuju jenjang kedewasan untuk menjadi yang terbaik. Sesuatu yang kita inginkan bukan?
Nah, mari kita simak. Siap-siap senyum-senyum sendiri atau mengangguk-angguk ya?
ANAK PERTAMA
Sering digambarkan sebagai karakter yang mendominasi, teratur, perfeksionis dan bertanggung jawab. Banyak orang bilang anak pertama terlahir untuk menjadi pemimpin. Kok bisa begitu sih?
Lingkungan keluarga
Kelahiran anak petama adalah pengalaman yang mengharukan dan perasaan menjadi orang tua sangatlah kuat karena prosesnya masih baru. Biasalah, namanya juga masih anget, antusias total ceritanya. Buku parenting berjejer dan saran dari seluruh RT diserap. Tiap anak gerak langsung difoto, anak bersendawa ditulis di diary. Kalau foto album anak pertama bertumpuk, foto-foto anak berikutnya mengalami nasib ‘Aduh, lupa nyetak!’. Karena pengalaman baru inilah, anak pertama mendapatkan limpahan perhatian dan kasih sayang yang lebih. Dia mendapat banyak kesempatan untuk mendengarkan bahasa dari orang tua dan mengamati interaksi sosial orang-orang dewasa di sekitarnya. Akan tetapi, pengalaman baru ini menjadikan orang tua jadi terlalu berhati-hati - anak ditahan tengkurep karena belum waktunya, megangnya ati-ati takut patah, kemana-mana pake kaos kaki dan topi meski hawa panas… eit, jangan sampe lupa minyak telon ya! Sebagai akibatnya anak bisa menangkap atmosfir yang tercipta dari rasa kekhawatiran ini. Di samping itu anak pertama hanya memiliki orang-orang dewasa di sekitarnya, sehingga dia hanya bisa membandingkan kemampuan diri dengan orang-orang dewasa, yang sering membuatnya merasa ‘kurang mampu’.
Karakter khas
Anak pertama menikmati perhatian spesial dari orang tua hanya untuk sementara dan kemudian tiba saatnya dia harus berbagi. Sebuah perasaan kehilangan yang besar. Sebagai akibatnya, anak pertama punya keinginan kuat untuk mendapat pengakuan dari orang lain (terutama mereka yang memiliki kewenangan) sebagai orang yang juga memiliki kemampuan, sebagai figur yang memiliki wewenang seperti figur orang tua. Maka diapun mulai bermain-main dengan ‘wewenang’ mulai dini. Di sekolah biasanya dia menjadi anak yang pintar, mentaati peraturan dan ada kecenderungan menghormati nilai-nilai tradisi. Sebuah karakter yang dicintai para guru dan sesepuh. Sifat-sifat inilah yang menjadikannya sebagai figur pemimpin, seperti ketua kelas misalnya. Anak pertama tidak hanya mengagumi kekuasaan, tapi juga mendambakannya. Jadi bukan kebetulan jika banyak pemimpin negara yang terlahir sebagai anak pertama. *Yang jadi anak pertama, sudah, jangan banyak-banyak nyengirnya…:)*
Mengembangkan yang terbaik
Sangat penting bagi orang tua untuk mendorong anak pertama agar dia melakukan sesuatu karena alasan dia menyukainya, bukan karena dia ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Juga, karena anak pertama cenderung ingin menunjukkan kemampuannya, maka secara nggak sadar dia pun menjadi terlalu kritis terhadap diri sendiri. Tugas orang tua adalah mengajarinya bahwa kegagalan bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan sesuatu yang bisa dipelajari. Hal ini bisa membantu melonggarkan kecenderungan anak untuk menjadi orang yang sangat perfeksionis.
ANAK KEDUA/TENGAH
Oh, si bandel yang keluar rel, yang nggak mempan tutur kata… Anak tengah sebagai kambing hitam, betapa seringnya kita dengar. Sebuah prejudis yang tidak fair memang. Tapi benarkah? *Hem, jadi ingat keponakan FunkyMami dulu, bandelnya minta ampun tapi menyenangkan*.
Lingkungan keluarga
Salah satu keuntungan bagi anak kedua/tengah adalah orang tua sudah memiliki pengalaman saat dia lahir, sehingga mereka lebih rileks dan percaya diri tentang apa yang mereka lakukan. Maka tidak heran kalau orang tua memperlakukan anak kedua/tengah lebih tenang dan realistis. Hal ini membuat anak kedua/tengah juga lebih rileks dan tidak terlalu khawatir seperti anak pertama. Akan tetapi perhatian orang tua sudah terbagi, sehingga anak kedua/tengah harus bekerja keras agar diperhatikan. Sering mereka sangat inovatif dalam menciptakan cara untuk menarik perhatian orang tua. Apalagi jika si kakak adalah bunga harum di sekolah dan di rumah. Sebuah ‘lawan’ yang susah ditandingi. *Tapi asli, FunkyMami lebih nge-fans sama Pangeran Henry yang bandel dan kocak, ketimbang Pangeran William yang elegan dan berwibawa .*
Karakter khas
Anak kedua/tengah sudah beradaptasi dengan lingkungan semenjak kecil dan berpengalaman dalam hal diplomasi dan bekerja sama. Sehingga anak kedua/tengah lebih mudah berinteraksi dengan banyak orang dan bisa menempatkan diri dengan mudah dalam sebuah kelompok. Kemampuan anak kedua/tengah dalam bersosialisasi cenderung membuatnya sebagai orang ramah, mudah bergaul, dan memiliki banyak teman. Dia digambarkan sebagai orang yang mudah merasa iba, murah hati dan gampang menolong. Biasanya mereka lebih menfokuskan diri dengan orang-orang seusianya. Hal ini bagus jika teman-temannya adalah anak-anak yang baik, tapi tidak terlalu bagus jika teman-temannya tergolong anak-anak yang kurang baik. Anak kedua/tengah memiliki kecenderungan tumbuh sebagai karakter pragmatis, yaitu karakter yang berpandangan praktis, termasuk cara dia menilai kemampuan sendiri dan menentukan harapan yang realistis (bisa dijangkau). Biasanya anak kedua/tengah lebih memfokuskan energinya dalam bidang yang tidak begitu dikuasai oleh si kakak.
Mengembangkan yang terbaik
Anak kedua/tengah menikmati dinamika kehidupan berkelompok dan bisa mengembangkan diri dengan baik dalam lingkungan sosial. Hal ini bisa dijadikan pegangan bagi orang tua dalam memilih playgroup, sekolah dan kegiatan di luar rumah/sekolah. Karena anak kedua/tengah cenderung kehilangan arah, jangan takut untuk mendorongnya ke arah yang sangat dia nikmati. Tapi ada yang harus diingat, karena karakter anak kedua/tengah yang easy going maka dia mudah menerima dan menampung. Karena hal inilah maka, selain orang lain gampang mengambil keuntungan darinya, orang tua juga sering tidak bisa melihat apa yang sebenarnya dia perlukan.
ANAK TERAKHIR
Urutan kelahiran yang banyak diiri karena anak terakhir seolah mendapat hak istimewa sebagai ‘si adik kecil yang boleh lolos dari kesalahan’. Disamping itu banyak orang cenderung tidak begitu menghiraukan ‘ketidakmampuannya’. Jarang anak terakhir mendengar: “Jadilah dewasa dan kerjakan sendiri”, meski kakak-kakaknya dulu sudah mampu melakukan hal yang sama di usia yang sama.
Lingkungan keluarga
Kebanyakan keluarga ‘modern’ (baca keluarga saat ini) sudah mengetahui apakah si anak bakal menjadi anak terakhir atau bukan. Mengetahui bahwa sang anak bakal menjadi anak terakhir, orang tua sering ingin bernostalgia karena merasa rindu dalam mengasuh dan merawat anak, bahkan ‘menyesal’ karena tidak akan mendapatkan anak lagi. Akibatnya, tanpa sadar, orang tua akan memberi semua sisa perhatian yang lebih pada anak terakhir, bahkan mentolerir sifat ketergantungan dan ketidakdewasaannya - sebuah sikap yang tidak bisa diterima jika dilakukan oleh anak pertama atau kedua/tengah. Orang tua juga jauh lebih berpengalaman dan paham betul tentang hal-hal mana yang benar-benar mengganggu dan hal-hal mana yang sebenarnya bisa dihiraukan. Oleh karena itu, banyak orang tua menjadi tidak terlalu ketat terhadap anak terakhir.
Karakter khas
Anak terakhir adalah makhluk sosial dan sangat menyukai jadi pusat perhatian. Mereka biasanya tumbuh sebagai karakter yang dicintai teman atau menjadi anak paling lucu di kelas atau jago menghibur orang. Apalagi, dibanding kakak-kakaknya dialah yang harus berjuang paling keras demi mendapatkan perhatian, yang biasanya dia tampilkan dengan beraksi lucu, menggemaskan dan mengagumkan. Karena terbiasa dengan bantuan orang-orang disekitarnya, anak terakhir memiliki kecenderungan untuk tidak teratur dan kehilangan arah. Tapi sebaliknya, usaha kerasnya dalam menarik perhatian itu menjadikannya menjadi karakter yang kreatif dan innovatif. Bahkan tidak jarang dia berani mencari terobosan baru yang jika terlalu ekstrem bisa menjerumuskannya menjadi jiwa pemberontak, atau mengundang resiko-resiko yang tidak perlu.
Mengembangkan yang terbaik
Jangan manjakan anak terakhir terlalu berlebihan *oh, betapa mudahnya bilang begitu. Coba liat betapa lucunya dia!*. Sangat penting baginya untuk belajar melakukan sesuatu dengan tangannya sendiri dan bangga dengan hasilnya, sehingga dia bisa tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri. Pujian dan penghargaan atas usahanya lebih penting daripada mengagumi setiap detil tindakan positifnya, sehingga dia tahu betul bahwa pujian dan penghargaan itu memang benar-benar layak dia dapatkan. Dengan mengajarinya untuk tidak terlalu bergantung dengan orang lain kita tidak hanya mengajarinya menjadi pribadi yang mandiri tapi juga percaya diri.
ANAK TUNGGAL
Jaman dulu sulit diterima akal jika orang tua sengaja ingin memiliki anak tunggal. Jaman sekarang sudah umum jika orang memilih berkarir terlebih dulu dan menikah ‘belakangan’. Akibatnya banyak orang tua yang menikah setelah berkarir memutuskan untuk memiliki satu anak saja karena faktor umur, tenaga dan waktu.
Lingkungan keluarga
Jika orang tua sudah memutus untuk memiliki anak tunggal dan bahagia dengan keputusan tersebut, maka kemungkinan besar kehidupan keluarga akan sehat dan positif, di mana anak tunggal akan berkembang menjadi karakter yang menarik terlepas dari pisisinya dalam urutan kelahiran. Kondisi ini juga berlaku bagi orang tua yang sangat menginginkan anak kedua akan tetapi tidak mendapatkannya dan tetap ikhlas menerima kondisinya. Sebaliknya orang tua yang merasa menyesal bahkan bersalah melihat kondisi anaknya yang semata wayang cenderung memanjakan anak tunggalnya secara berlebihan akibat perasaan tersebut.
Mengembangkan yang terbaik
Kebanyakan orang tua paham betul akan kebutuhan sang anak tunggal untuk bergaul dengan anak-anak lain seusianya dan belajar berinteraksi dalam kehidupan sosial. Akan tetapi disamping elemen sosial tersebut, anak tunggal juga harus mengalami dan merasakan ketidakteraturan dan kekacauan saat bermain dalam kelompok. Dia juga harus menyadari bahwa tidak masalah jika kadang-kadang sesuatu bisa keluar dari jalur, karena memang seperti itulah kehidupan dalam kebersamaan. Anak tunggal juga perlu untuk belajar rileks dan membiarkan hal-hal sedikit tidak teratur. Hal ini akan membantu membelokkan kecenderungannya untuk menjadi karakter yang perfeksionis.
Sumber: Birth Order by Linda Blair
Sumber: Birth Order by Linda Blair
No comments:
Post a Comment