7/17/2010

Belajar mengambil resiko

Belajar mengambil resiko


Kesempatan untuk belajar mengambil resiko lebih banyak diberikan oleh ayah daripada ibu. Kenapa ya?


Belajar mengambil resiko saat mengeksplorasi dunia sekitar adalah sangat penting bagi anak. Sayangnya semangat petualang si kecil sering kali tertahan oleh orang tua yang over protective. Dengan memberi kesempatan anak untuk belajar mengambil resiko, maka orang tua telah menumbuhkan rasa percaya diri pada anak.

Meski tidak tumbuh dalam keluarga ‘Jowo totok’, FunkyMami juga terbiasa dengan pakem-pakem yang harus dianut dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan mengasuh anak. Salah satu aturan yang masih sering dianut sampai sekarang adalah bayi baru boleh ‘turun tanah’ setelah menginjak umur 6 bulan (atau 7 bulan ya? ma'af dah lupa)yang menurut FunkyMami, ma’af ya, terlalu over protective. Begitu juga dengan aturan - aturan lainnya yang secara tidak langsung membatasi ruang gerak anak untuk mempelajari dunia di sekitarnya, yang bisa berakibat kurangnya kesempatan bagi anak untuk belajar mengambil resiko.

Seperti kata Bu Djoko:

“Budi, larinya jangan kenceng-kenceng, nanti jatuh!”
“Budi, nggak boleh manjat-manjat nak, nanti jatuh!”
“Budi, naik sepedahnya pelan-pelan ya, biar nggak jatuh.”

Jangankan memberi kesempatan si Budi untuk mengambil resiko, melihat si Budi bergerak agak kenceng aja, Bu Djoko langsung membayangkan sirene ambulans. Tapi Bu Djoko tidak sendiri. Umumnya ibu-ibu lainnya juga begitu, takut memberi kesempatan pada anak untuk belajar mengambil resiko, termasuk yang nulis ☺. Bahkan sekarang juga sudah ditemukan bukti-bukti bahwa dalam urusan memupuk semangat dan memberi kesempatan anak untuk belajar mengambil resiko, para bapaklah yang menduduki peringkat lebih tinggi dibanding para ibu. Jadi ibu-ibu jangan kecewa kalau dalam urusan bermain anak bilang: “Pokoknya papa lebih cool, dibanding mama.”

Oke, anak jatuh. Lalu kenapa? Jalan licin, naik sepedah, lari, manjat dan gerakan-gerakan lainnya pasti tidak lepas dari resiko jatuh. Tapi jika anak tidak diberi kesempatan untuk mencoba mengambil resiko, bagaimana mereka akan tahu cara menghindari resiko tersebut pada kesempatan berikutnya? Selama kegiatan belajar mengambil resiko masih dalam skala ‘aman’, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan kecelakaan-kecelakaan kecil yang mungkin menimpa. Yah, nulis sih gampang, coba dipraktekkan...”Stop...jangan jungkir balik, ntar gegar otaaakkk!” Gimana anak bisa jadi atlit nasional, kalau jungkir balik aja dilarang...

Dalam sebuah penelitian, beberapa ahli dari Kanada mengamati bagaimana para orang tua bersikap ketika anak-anak mereka yang berumur satu tahun-an ditempatkan dalam situasi yang berbeda-beda. Salah satu situasi adalah saat anak berusaha menaiki anak tangga untuk meraih mainan di atas. Umumnya para ibu langsung bergerak mendekat dan memberi lebih sedikit kesempatan buat anak. Sementara, tindakan yang dilakukan para bapak lebih tepat, yaitu memberi kesempatan anak untuk mengeksplorasi dengan cara-cara aman dan terkontrol.
Agar anak mendapatkan rasa percaya diri, orang tua tidak seharunya berada terlalu jauh atau terlalu dekat. Demikian kata Professor Daniel Paquette dari University of Montreal. Jarak ideal antara anak dan orang tua adalah sepanjang jangkauan tangan.

Yang menarik, meski kebanyakan bapak lebih memberikan kebebasan pada anak laki-laki dalam mengambil resiko dibanding anak perempuan, dalam urusan mengasuh anak perempuan, para bapak pun cenderung lebih ‘berhati-hati’ dibanding dengan anak laki-laki.
Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa cara bapak ataupun ibu dalam mengasuh anak adalah saling melengkapi. Bahkan dalam mengganti popok atau memberi minum botol, cara bapak berbeda dengan cara ibu. Dengan membolehkan anak untuk mengambil resiko yang terkontrol, seorang bapak telah memberi sesuatu yang berbeda dan anak bisa mendapat benefit yang besar dari kontribusi tersebut.

No comments:

Post a Comment