6/09/2010

Agar anak menurut kata orang tua



Kalau saja menyesali karakter diri sendiri tidak dianggap menentang kehendak Tuhan, rasanya tiap hari Funkymami ingin menyesali diri karena telah terlahir sebagai orang yang tidak sabaran. Sifat tidak sabaran ini masuk urutan nomor satu dalam daftar sifat-sifat negative FunkyMami, mengungguli sifat ‘Susah bergaul’, ‘Makan banyak’ dan ‘Malas olah raga’ (suka makan termasuk sifat ngga sih?)

Ya, siapa lagi yang suka bikin FunkyMami nggak sabaran kalo nggak si Kutilang dan si Bogang, anak-anak FunkyMami. Masalahnya, kalau FunkyMami nggak sabar, maka dia cepat frustasi. Nah, kalau sudah frustasi, maka dia cepat mengalami transformasi menjadi ibu terburuk yang pernah dia kenal.
Yang dimaksud ibu buruk di sini adalah ibu yang suka:

  • Menyalahkan dan menuduh:
“Berapa kali mami bilang, jangan lupa matikan lampu setelah keluar dari kamar mandi!”
  • Memberi ‘merek’ anak:
“Kamu ini memang ceroboh. Tiap mengerjakan sesuatu pasti salah!”
  • Mengancam:
“Sekali lagi kamu lupa berberes setelah nonton DVD, kamu nggak akan dapat DVD baru.
  • Memerintah:
“Ambil sepatu adikmu.”
  • Memberi ceramah:
“Menurutmu bagus cuek nonton TV sementara ada tamu pamit sama kamu? Jadi anak sopan apa susahnya sih? Harusnya kamu menanggapi kalau ada tamu pamit. Bila perlu menemani tamu keluar sampai ke pintu. Tunggu sampai pergi, baru kamu lanjutkan nonton TV. Mami kan jadi malu, dikira nggak bisa ndidik anak...dan seterusnya...dan seterusnya...
  • Memberi peringatan:
Minggir, nanti kamu jatuh...Eh, jangan utak-atik komputer mami, itu belum di simpan...jangan dekat-dekat kompor, panas...
  • Merasa menjadi korban:
“Nggak ada satupun yang bantu mami di rumah ini (sambil pura-pura nelangsa). Tiap hari mami kerja banting tulang, tapi kalian malah bikin rumah kacau. Kalau gini terus-terusan mami bisa sakit. Seneng kamu kalau mami sakit?”
  • Membandingkan:
“Mbok ya kamu itu seperti si Cempaka. Pulang sekolah langsung ganti baju, makan, terus tidur. Nggak seperti kamu, main terus kerjanya.”
  • Menyindir:
“Aduh pinternya kamu. Lihat, sausnya jatuh ke baju putihmu.”
  • Meramal:
“Kenapa sih kamu suka nangis kalau diledek. Kan cuman becanda, jangan dimasukkan hati. Kalau suka nangis gitu, lama-lama kamu nggak punya teman. Mereka males berteman sama tukang gondok.”

Bu Joko, tetangga FunkyMami langsung protes. Dia bilang,”Emang melakukan hal-hal tersebut tergolong ibu buruk? Gimana sih FunkyMami ini. Trus maksudnya anak dibiarin nglunjak gitu?”

Begini lho pembaca, kalau FunkyMami menganggap ibu yang melakukan hal-hal tersebut di atas adalah ibu buruk, semata-mata karena FunkyMami membayangkan bagaimana perasaan si anak jika setiap hari harus mendengar kata-kata tersebut di atas? Terus terang nih, kalau FunkyMami yang jadi si anak, dia bakal mikir gini:

“Percuma, ngomong sebenarnya juga tetep dituduh. Biarin, lain kali bohong aja..."

"Aku benci sama diriku. Mami memang bener, aku memang anak goblok. Tiap mengerjakan sesuatu pasti salah...."

"Uh, mami sukanya selalu memerintah. Sebel...Pingin rasanya nutup kuping kalau mami lagi ceramah. Bla-bla-bla.Bosen..."

"Kalau capek ngurusin anak, kenapa nggak dikasih ke orang aja..."

"Mami lebih cinta si Cempaka daripada aku. Andai ada yang mau ngadopsi aku...”

Dan sejenisnya...



Anak-anak umurnya memang masih muda dan ukurannya jauh lebih kecil dari kita. Tapi haruskah karena umur dan ukurannya, orang tua merasa berhak untuk menyinggung dan menyakiti perasaan mereka? Coba bandingkan, siapa yang lebih sering kita sakiti perasaannya, teman kita atau anak kita? Kita, kalau berbicara sama teman, pasti berhati-hati, biar nggak menyinggung perasaan, biar nggak bikin berantem. Kalau kita berselisih dengan teman, kita berusaha berbicara baik-baik, menjelaskan permasalahnya, bila perlu minta ma’af kalau salah. Sama anak? Ho..ho..ho..I am the boss! Dan kamu makhluk kecil? Duduk, dengar, dan turuti apa kata mami!

Kenapa mereka harus lahir kalau hanya untuk menghibur kita saat lucu saja? “Oh jeng, tahu nggak, pas si Bogang umur setahunan, luuuucu banget. Pantatnya gemuk trus pipinya tembeb. Apalagi kalau ketawa, keliatan giginya yang cuman dua. Dia bener-bener kiyut.” Tapi, begitu mereka mulai mengerti cara mengekspresikan kemauannya, kita nggak segan-segan menyakiti perasaan mereka. “Eh si Bogang sekarang dah berani melawan. Nggak pernah mau disuruh. Kalau dimarahi ganti marahin balik.”

Sayangnya, kejengkelan-kejengkelan dalam urusan mendidik anak adalah semacam built-in software dalam komputer yang sudah termasuk dalam paket pembelian. Susah ‘delete’-nya. Salah satu kejengkelan itu adalah jika anak tidak bersikap dan bertindak seperti yang diinginkan orang tua. Atau tepatanya, sering terjadi ‘konflik keinginan’ antara orang tua dan anak. Apa yang diinginkan orang tua sama sekali berlawanan dengan keinginan anak. Orang tua pingin anak sopan, bersih, teratur. Sementara anak sering lupa mengucap terima kasih setelah bajunya kita setrika? Yang lebih parah, semakin orang tua bersemangat mengatur anak, semakin keras anak menolak.

FunkyMami sadar akan masalah ini. Dari nyontek sana-sini, nguping kiri-kanan dan baca ini itu, FunkyMami mempunyai beberapa kesimpulan tentang cara terbaik dalam berkomunikasi dengan anak agar mereka mau menurut kata orang tua. Mudah-mudahan poin-poin di bawah juga bermanfaat buat pembaca:
  • Terangkan. Terangkan apa masalahnya. Sulit bagi anak melakukan sesuatu kalau orang tua selalu menyalahkan. Akan lebih mudah bagi anak untuk berkonsentrasi pada permasalahan, jika orang tua menerangkan apa permasalahnya. Misal: “Lampu di kamar mandi masih nyala.”
  • Beri anak informasi. Jika anak diberi informasi tentang permasalahan dengan jelas, mereka lebih mudah menemukan sendiri cara untuk mengatasi masalah tersebut. Misal: “Papa bekerja keras mencari uang, salah satunya biar bisa bayar listrik. Kalau kita lupa mematikan lampu, maka biaya litrik menjadi tinggi. Kalau gaji papa habis buat bayar listrik, nanti kita makan apa?”
  • Katakan dengan satu kata. Anak tidak diingatkan dengan keterangan panjang lebar seperti pidato. Biasanya semakin pendek peringatan, semakin efektif hasilnya. Misal: “Lampu.”
  • Ungkapkan perasaan. Anak juga bisa mengerti perasaan orang tua jika kita mengungkankannya dengan jelas. Marah-marah hanya akan menyakiti perasaan mereka karena mereka merasa diserang. Akhirnya mereka akan menjalankan perintah kita dengan rasa jengkel. Kita bisa menjelaskan ke anak seperti: “Terus terang mama bosan terus-terusan mematikan lampu setiap kali kamu keluar kamar mandi.”
  • Tulis catatan/surat. Anak sangat menyukai kertas tempel, stiker, tanda, rambu dan sebagainya. Bagi mereka hal ini seperti permainan. Tulis catatan kecil dan ditempelkan di pintu. Misal: ‘Keluar kamar mandi tolong matikan lampu.’ Atau tulis pesan di kertas lalu lipat seperti pesawat terbang atau lipat kertas dan masukkan ke kantong celana anak sambil berbisik: Mama mau berbagi rahasia, baca setelah mama pergi. Isinya: ‘Hayo, kamu lupa lagi mematikan lampu kamar mandi.’

Setelah baca tip FunkyMami, Bu Joko langsung praktek. Sambil bersikap semanis mungkin Bu Joko mengingatkan anaknya: “Tolong sayang jangan loncat-loncat di sofa ya?”

Si anak tetep loncat-loncat.

“Tolong jangan loncat-loncat.”

Anaknya melirik sebentar, lalu loncat-loncat lagi.

“Mami kan sudah bilang TOLONG jangan loncat-loncat!” Ceples! Tangan Bu Joko mendarap ke pantat si anak. Anaknya pun nangis.

Kenapa? Kenapa ibu yang sopan bisa berubah menjadi brutal dalam hitungan detik? Dua hal yang perlu diingat dalam menerapkan tip di atas.
  1. Bersikaplah otentik alias asli. Bersikap terlalu manis pada saat Anda marah, tidak akan menyelesaikan masalah. Jika Anda menginginkan anak melaksanakan perintah secepatnya, intonasi suari yang tegas lebih membantu daripada bersikap terlalu manis. Anda bisa bilang: “Sofa bukan tempat untuk loncat-oncat!”
  2. Hanya karena Anda tidak berhasil setelah peringatan pertama, jangan cepat menyerah dan kembali ke cara lama. Ada lebih dari satu cara yang bisa digunakan, seperti disebutkan pada tip-tip di atas. Anda bisa mengkombinasi atau menggabung beberapa bila perlu. Misal: “Sofa bukan tempat untuk loncat-loncat. Kalau kamu sering loncat-loncat, nanti rusak. Papa nggak punya duit buat beli sofa baru.”

Bagaimana? Rasanya kok nggak terlalu sulit ya untuk diterapkan? Siapa bilang? Terus terang, awalnya sulit banget melaksanakannya, apalagi kalau punya sifat tidak sabaran seperti FunkyMami. Kuncinya cuman satu, tahan diri sekuat mungkin agar jangan cepat membentak.Tapi jangan khawatir, dengan menerapkan berulang-ulang, lama-lama kita terbiasa dan pasti Anda akan terkejut begitu menyadari betapa anak-anak Anda sangat membanggakan.


No comments:

Post a Comment